blog-kombecks
Sedang memuat...

Jika Hanya Memikirkan Bisnis Beginilah Jadinya

Sepakbola berkembang menjadi sebuah industri tentu merupakan sebuah kemajuan. Dengan begitu, klub-klub akan mendapatkan banyak ruang untuk sumber pemasukan. Misalnya saja yang paling mencolok jika sepakbola sudah menjadi industri tentu pemasukan dari hak siar televisi. Bagi klub-klub top Eropa hak siar menjadi sumber pemasukan utama mereka selain juga dari investor.

Selain itu klub juga bisa memaksimalkan pendapatan dari penjualan asesoris klub, penjualan tiket, dan dari sponsor. Sejauh ini bagi klub-klub Indonesia tiga sumber pemasukan ini sudah bisa dikelola dengan baik. Tinggal bagaimana mamaksimalkan hak siar yang nilainya begitu fantastis, dengan catatan liga yang disajika harus berkualitas tinggi. Bukan sekelas tarkam, apalagi liga yang diwarnai dengan pengaturan skor.

Kita semua tentu saja masih ingat, bagaimana Liga Italia begitu berjaya di era 80 hingga 90-an. Semua orang membicarakan liga yang diberinama Serie A ini. Namun liga ini akhirnya hancur dengan adanya skandal pengaturan yang kita kenal dengan Calciopoli. Segala cara telah dihalalkan oleh oknum tertentu untuk mengambil keuntungan maksimal dari industri sepakbola. Namun tindakan ini tentu saja berdampak jangka panjang.

Tindakan tidak sportif seperti ini malah menghancurkan industri itu sendiri. Liga yang selalu menjadi pembicaraan dimana-mana mulai dari media, kedai kopi, sekolah-sekolah, hingga kampus-kampus kini sudah tidak mempunyai daya tarik. Terlebih pada era 1990 Liga Primer Inggris tampil sebagai pesaing serius dalam Industri sepakbola yang kelak -hingga saat ini- menguasai industri sepakbola dunia.

Dengan pengelolaan liga yang profesional Liga Primer tampil menjadi liga yang terdepan meski beberapa tahun ini menjadi perdepatan seiring dengan munculnya persaingan sengit dari Liga Spanyol dan Liga Jerman. Namun tidak ada yang dapat membantah jika hak siar Liga Inggris adalah yang termahal. Tentu saja bagian untuk setiap klub juga besar.

Proses menuju industrialisasi inilah yang sekarang sedang diwacanakan untuk diterapkan di sepakbola indonesia. Dengan industrialisasi ini diharapkan pengelolaan sepakbola indonesia beserta klub nya menjadi lebih profesional dan sehat secara finansial pasca terlepas dari suntikan dana APBD.

Tapi semua tak seindah yang dibayangkan. Demi industrialisasi sepakbola berorientasi "bisnis" PSSI telah membuat berbagai "kericuhan" baik ditubuh PSSI sendiri maupun pada klub dan suporter. Dengan alasan keinginan sponsor 2 klub yang tak seharusnya diloloskan ke kasta tertinggi sepakbola Indonesia menjadi melenggang mulus tanpa keringat dan perjuangan, bahasa suporternya "mereka tidak berdarah-darah".
[next]
Tentu saja yang diharapkan adalah pemasukan yang besar dari sponsor atau penjualan tiket yang besar karena klub tersebut punya basis suporter yang besar dan bersejarah. Hanya karena itu? sepertinya iya karena klub memang tidak bertarung dilapangan untuk mencapainya.

Jika liga benar-benar dikelola secara baik setiap klub harus berjuang dari bawah sesuai dengan regulasi. Klub harus melewati beberapa tingkatan kompetisi untuk mencapai kompetisi tertinggi. Inilah yang seharusnya mendapat #respect dalam sepakbola profesional, bukan semata kerena uang bisa melenggang seenaknya ke level tertinggi.

Pada saat awal terpilihnya pengurus PSSI yang baru, mereka mengatakan akan mengadakan kompetisi dengan format dua wilayah dengan alasan untuk menghemat biaya operasi klub. Namun akhirnya diputuskan kompetisi tetap satu wilayah. Sekarang apa yang terjadi? malah anggota kontestan Liga ditambah dari 18 klub menjadi 24 klub. Bukan penghematan yang didapat klub malah pembengkakan pengeluaran.

Klub harus menambah aggaran transportasi dan akomodasi untuk total seluruh pertandingan, karena dengan penambahan kontestan tentu pertandingan semakin banyak, begitu juga dengan jarak tempuh. Pertandingan yang semakin banyak membuat beberapa klub merasa perlu menambah pemain baru karena dengan pemain yang sudah ada dikhawatirkan pemain akan jenuh dan kewalahan. Wah, inilah pengeluaran terbesar bagi klub, yaitu kontrak pemain! Bukan malah penghematan tapi justru bisa tekor.

Salah satu indikator profesionalitas itu adalah pengalaman. Entah kenapa pelaksanaan kompetisi dialihkan dari PT Liga Indonesia yang jelas sudah terbukti dan berpengalaman ke PT Liga Prima Indonesia Sportindo yang baru saja dibentuk. Dari segi pengalaman sudah jelas PT Liga Indonesia lebih berpengalaman. Tapi pelaksanaan kompetisi justru di berikan ke PT Liga Prima Indonesia Sportindo. Jika sudah berpengalaman tentu saja mengatur jadwal kompetisi tidak berantakan seperti yang terjadi saat ini. Bagaimana mau profesional kalau mengatur jadwal saja tidak bisa.


Jadi intinya adalah jangan jadikan sepakbola sebagai industri penuh atau bisnis semata. Jadikanlah sepakbola sebagai sebuah olahraga dan bisnis yang fair. Pikirkan juga pihak lain yang tidak bersalah yang mungkin dirugikan akibat keputusan yang yang mengatas namakan profesionalitas dan industrialisasi sepakbola menuju sepakbola profesional.
Dari Redaksi 6212520578944153243

Beranda item